Si Maya menyajikan kepadamu prosa berpelangi, ia menyuguhkanmu tembang asmarandana, sehingga kamu akan bangkit dari ketertinggalan yang telah mencekammu. Tapi hati-hati dengan kecantikannya, sewaktu-waktu ia mampu melumpuhkan logikamu.

Setahun lalu, aku pernah menyibakkan hati dan pikiran, untuk mendengar ocehan beberapa santri, perihal kreativitasnya bermain Mobile Legend. Kata santri, “begini strategiku pak, untuk bunuh lawan.” Terkesan, itu hanya jawaban sederhana, tetapi jawaban itu merayu akalku berlaga menemukan inspirasi, untuk menggali bagaimana generasi milenial hidup di saat teknologi, sudah semakin candu menggerogoti, seluruh manusia di permukaan bumi ini. Sepintas, aku ingin menyalahkan mereka, sebab waktunya sekadar di habiskan bermain game. Usut punya usut, setelah berada dalam ruang semedi, (baca: toilet), akhirnya kutemui siapa dalang dari peristiwa ini. Oh rupanya si Maya. Siapa sih si Maya ini? Apa kekuatan yang ia miliki? Mari kita menelusuri siapa dirinya

Baiklah, aku mengawali dengan slogan “Aku adalah manusia yang butuh bahagia.” Ini mencitrakan perangai dasar manusia butuh “kebahagiaan”. Tidak ada satu pun manusia menginjakkan kaki di permukaan bumi ini ingin hidup dalam kubangan “derita”. Setiap manusia memiliki harapan-harapan, meskipun pada dasarnya harapan itu hanya memperpanjang barisan penderitaan. Bukankah begitu gaes ? Sudahlah, percaya saja.

Klimaks dengan rasa bahagia, manusia butuh wahana ilmu yang di suguhkan oleh-Nya. Ilmu itu transportasi mewah dalam mengarungi samudera kehidupan. Ilmu laksana kirana penakluk gelita, memberikan tuntunan, menghadiahkan sebuah tanda dan simbol agar kita tak kehilangan arah dan bisa hidup lebih lama dan bermakna. Setiap tindakan yang tidak di sandarkan kepada ilmu, maka ia akan berada dalam kehampaan dan hanya mampu meraba kegelapan.

Sudah seyogianya, rupa prakarsa dalam memasyhurkan nilai-nilai kemanusiaan, perlu saling mengingatkan, terus-menerus bertukar informasi, dan hidup bermitra dalam mode dunia pemberadaban yang sarat dengan nilai-nilai keilahian. Yah, peran si Maya bisa turut membantu kita bergairah dengan peradaban.

Aksesoris si Maya

Kepakan sayap si Maya dan manisnya ilmu pengetahuan, menjadi menarik dan mempesona di perbincangkan di kalangan generasi milenial. Sebab,  keremajaan si Maya sudah beralih menjadi dewasa, dia menunjukkan kecantikan dan kecanggihan dirinya, dan sejalur dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju.

Saat ini, banyak menyediakan fasilitas dan media dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Menghaturkan terima kasih bukanlah aib kepada peradaban modern dengan segala fasilitas teknologi yang tersedia untuk awetnya hidup kita di bumi ini. Fasilitas ini, membuka peluang kepada generasi milenial untuk mengambil ruang kosong menyampaikan ilmunya, menyuarakan gagasan-gagasan, dan ide-ide juga di kemas lebih kreatif dan imajinatif.

Tak mengapa kalau kita meminjam aksesoris si Maya, Facebook, Instagram, Tik Tok, Snapchat, dan lain-lain. Namun, di tengah kehidupan sosial masyarakat, acapkali generasi milenial tidak di berikan kesempatan dan ruang untuk tampil di mimbar ataupun panggung menyuarakan apa yang mereka tahu. Bukankah tindakan seperti ini, layaknya merawat kebodohan? Menimbulkan rasa tidak percaya diri di kalangan generasi milenial, hingga dari rahim kebodohan itu lahirlah kesenjangan sosial.

Tanggung jawab sosial manusia adalah menjaga kestabilan kehidupan sosial. Generasi milenial juga komponen pelaku sosial, ia perlu di perhatikan dan di berikan ruang untuk menunjukkan eksistensi keakuannya, agar tidak tenggelam di tengah hasrat mengikuti trend dan style metropolis Barat.

Dampak Negatif Si Maya

Terlepas dari kecantikan si Maya, ia juga sesekali membuat candu, dan memberikan dampak buruk jauh lebih besar, dibandingkan masa orang tua kita dulu dengan tantangan zaman yang ia hadapi. Contohnya, anak-anak kadang masih berumur belasan tahun bahkan di bawah dari itu, pada wilayah psikologi mereka di paksa untuk lebih lama bermain dengan handphone di bandingkan bermain dengan teman sebayanya seperti permainan kelereng, wayang, petak umpet dan sebagainya.

Mereka telah di tidurkan si Maya dengan rayuan pamungkasnya bahwa permainan di duniaku lebih nyata, di bandingkan bermain di dunia nyata. Dunia nyata sendiri di anggap dunia maya yang tidak bermakna apa-apa. Ihwalnya, jika luput dari pengawasan orang tua, maka pada dasarnya orang tua telah mengizinkan anaknya untuk hidup nyata di dunia maya.

Untuk mengatasi persoalan ini, maka perlakuan kita adalah perlakuan digital, bukan kekerasan. Mindset generasi milenial adalah mindset digital, dan ini tidak bisa dicegah.

Mindset digital menata patron adicita untuk memaksimalkan teknologi digital, di mana kita ikut serta menggunakan teknologi bukan hanya sekadar tahu teknologi. Namun, ini perihal menyandang gelar sebagai pendekar digital. Titik permulaan untuk menelateni revolusi ini adalah kita patut waras bahwa, masa ini, kita hidup di alam teknologi yang mana setiap manusia memiliki media channel. Dunia yang penuh informasi melimpah ruah, karena semua orang mengeluarkan informasi, seperti perusahaan media, bisnis, dan individu.

Sekiranya di hela pada buana pencerahan, maka, pendidikan di jagat raya ini, lebih banyak mengonsumsi ilmu pengetahuan di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Apakah mengonsumsi ilmu pengetahuan di dunia maya adalah kesalahan? Jawabannya tentu tidak.

Ilmu pengetahuan tetaplah sesuatu yang baik dan suci. Mencari ilmu hukumnya wajib, dan atas dasar hukum wajib, ilmu perlu diajarkan atau disampaikan. Ini senada dengan sabda Nabi Muhammad Saw bahwa “Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” Maka prinsipnya, ilmu harus ada unsur publikasi atau unsur viralisasi.

Di sinilah, darma orang tua, guru, dan masyarakat dibutuhkan. mereka laksana jagapati preseden yang mesti peka terhadap perubahan. Khususnya, sang widyaiswara yang punya kemampuan digital, memegang posisi kardinal sebagai konsultan pendedahan untuk membantu sang praja ketika berlaga mencari informasi dan mengendalikan warta.

Maka jurus yang mesti kita kuasai adalah al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yaitu memelihara yang lama dan baik dan mengambil yang baru dan lebih baik.

Menunjukkan eksistensi keakuan, sangat penting bagi generasi milenial. Sebab ia terlampau sering mencumbu si Maya hampir 24 jam. Bukankah godaan si Maya ini terlalu kuat, dari bocah ingusan sampai manula pun mampu ia tundukkan. Maka, rangkul mereka, ajak mereka berkreasi, berdakwah, mengedit hal-hal baik, dan bermanfaat bagi masyarakat.

Baca Juga : 5 Kesalahan Dalam Bermedia Sosial